Senin, 22 Oktober 2018

PERINGATAN SUMPAH PEMUDA 

Hasil gambar untuk sumpah pemuda



TELAH sekian lama pemuda bangsa ini dininabobokan dengan slogan dan janji-janji yang tertulis dan terdengar oleh para elite politik bangsa dan pemerintah dari Sabang sampai Merauke, tetapi sangat minim dalam aktualisasi. Sejak digelarnya pembacaan Sumpah Pemuda yang dirangkaikan dengan Kongres Pemuda yang kedua, tepatnya 28 Oktober 1928, saat itu pula visi pemuda bangsa ini mulai terkikis oleh budaya baru yang kini akrab di benak anak muda. Sebut saja budaya asing yang tak terhindarkan. Pemuda seakan kehilangan arah perjuangannya, lalu perlahan-lahan lupa akan budaya leluhurnya yang seharunya diperjuangkan.

Lambat laun, saya menyadari, belajar sejarah tidak sekadar memuaskan rasa ingin tahu anak muda, tetapi juga memicu untuk berpikir kritis dan berani. Hasilnya, waspada bahwa persoalan nasionalisme pemuda bangsa ini akan semakin jauh dari perjuangan awalnya. Nasionalisme bukan soal upaya membentengi diri dari budaya luar, tetapi soal bagaimana kita mengenal, menggali, dan memahami sejarah dan budaya bangsa sendiri. Pada intinya, mendalami sejarah bangsa sendiri inilah yang sering luput dari kurikulum sekolah dan ruang-ruang mahasiswa, sebagaimana pengakuan Pramoedya Ananta Toer, “Kalau orang tak tahu sejarah bangsanya sendiri, tanah airnya sendiri, gampang jadi orang asing di antara bangsa sendiri.”

Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional mencatat tujuan pendidikan nasional sebagai berikut: “Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.” 

Saya dengan kesungguhan hati sangat marah dengan slogan kemandirian yang digaungkan, tapi sekadar menjadi tema besar, yang ketika tujuannya menjadi kepala daerah bahkan presiden tercapai, seakan-akan amnesia dengan janji-janji yang dulu dilontarkan; kemandirian terempas dengan kepentingan asing. 

Kerinduan yang baik itu selalu ada pada anak muda yang sedang berjuang, tidak ada kebaikan yang berarti bagi mereka yang sejak usia mudanya tidak ia manfaatkan untuk berjuang. Justru sebaliknya, mereka menyusup masuk ke ruang-ruang anak muda sebagai pionir penguasa. Perilakunya licik, lalu sedikit menipu rekan-rekannya, dengan gaya perlente dan bermewah-mewahan, sembari mengagung-agungkan bahwa pemimpin bangsa ini sedang bekerja, pemerintah saat ini sedang berjuang untuk rakyatnya. Bangsa ini masih membutuhkan anak muda yang berani berteriak dengan lantang, dengan teks penuh makna: “Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia. Kami putra dan putri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia. Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.”

Dengan kesadaran kritis, pemuda saat ini dituntut untuk dapat menyusun agenda kebangsaan yang bersifat jangka panjang, dengan kesadaran bersama mengembalikan semangat Sumpah Pemuda 1928. Pertama, mengembalikan segala aset daerah yang hari ini dikelola dan dieksploitasi oleh pengusaha, yang notabenenya mereka mengawal investasi asing. Kedua, mendorong pemerintah daerah untuk tidak lagi menggampangkan pemberian izin kepada para investor asing yang sudah jelas telah melakukan kerusakan lingkungan di mana-mana. Ketiga, melalui kegiatan-kegiatan positif di organisasi kepemudaan, berusaha meningkatkan SDM putra-putri daerah yang unggul di segala bidang. 

Jika ini bisa diwujudkan secara masif dari Sabang sampai Merauke, berjuang serempak mengoptimalkan potensi daerahnya masing-masing, maka cita-cita agung Sumpah Pemuda 1928 untuk merasakan bertumpah darah satu, tanah air Indonesia; berbangsa satu, bangsa Indonesia; dan menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia bisa terejawantah. Bukan cita-cita yang berhenti di slogan semata.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar